Kebudayaan Lampung, Ber-evolusi atau Mati Suri ?
Kebudayaan Lampung, Ber-evolusi atau Mati Suri ? Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan wacana kebudayaan, terutama kebudayaan lampung. Penafsiran pun beragam, Terutama siapa objeknya? Siapakah yang disebut dengan masyarakat lampung dan sebagainya. Keberagaman yang melingkupi lampung baik dari segi bahasa (simak juga di : Potret Buram Bahasa-Budaya Lampung), suku dan kebudayaan-kebudayan daerah lainnya, hadir dengan dinamikanya sendiri sebagai sebuah entitas dalam suatu bangsa. Memang membingungkan, terutama kebudayaan seperti apa yang ingin dipertahankan. Menjaga keorisinilannya dari kooptasi budaya luar atau melakukan pembaharuan dengan filterisasi yang ketat maupun dengan metode-metode lainnya.
Kebudayaan lahir dari kebiasaan masyarakat yang tumbuh dari pemikiran, aktualisasi diri, kebiasaan dan konsentrasi yang terjadi pada masa itu. Bagi mereka yang mempunyai daya imajinasi yang tinggi kemudian hadir dengan menciptakan kreasi-kreasi baru. Dari kreasi-kreasi itu ia lahir dan melembaga didalam masyarakat yang majemuk. Tetapi semua itu tidak terlepas dari sosialisasi, dan konstruktifitas pada sebuah sistem masyarakat. Karena belum tentu kreasi itu diterima masyarakat hingga akrab dan menjadi budaya yang melekat didalam diri setiap entitas budaya. Masyarakat adalah subyek, tokoh utama yang memainkan peran penting pada sisi kebudayaan. Hingga diterima atau tidaknya tergantung pada mereka.
Masyarakat dalam arti keseluruhan, tidak terlepas hanya pada satu titik. Dengan latar belakang yang berbeda dari satu kebudayaan menjadi kebudayaan lainnya. Tanpa disengaja atau dengan disengaja kebudayaan itu lahir. Ia melembaga dengan penerimaan masyarakat tetapi dilain pihak perbedaan pun muncul sebagai dinamika masyarakat yang majemuk. Masyarakat lampung telah menyatu dan melembaga dari suku-suku yang telah lama berbaur dilampung. Hingga pergesekan budaya serta pembauran budaya sulit untuk dihindari.
Didalam tubuh orang lampung telah terjadi pergeseran, baik budaya maupun perilaku lainnya. Perubahan ini timbul karena pesatnya kemajuan zaman yang lebih modern. Pertambahan penduduk yang begitu pesat, bisa dikatakan secara tiba-tiba karena proses perpindahan penduduk yang tidak diimbangi dengan kesiapan penduduk lokal dalam mengantisipasi fenomena tersebut.
Oleh sebab itu, seperti pernyataan saya diatas, seperti apa yang ingin kita lakukan terjadap budaya tersebut. Menjaga keorisinilannya atau kah dengan cara yang lain. Jika ingin menjaga keorisinilan budaya baik tingkah polah hidup, kegiatan keadatan, kebiasaan-kebiasaan atau aspek lainnya sangatlah sulit dan tidak mengkin. Sebagai contoh apakah kita harus memaksa orang-orang dari suku lampung untuk mempertahankan cara hidupnya dengan berkebun lada atau kopi. Atau kita memaksa mereka untuk menyulam tapis dengan tangan dan cara tradisional, tidak dengan menggunakan tekhnologi yang lebih maju. Apakah kita harus memaksa mereka untuk menerapkan tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman? Dengan pesatnya kemajuan tekhnologi dan perubahan cara hidup seperti era milenium ini tidakkah itu mengubah budaya dan pola serta perilaku kehidupan masyarakat. Apakah kita harus tetap mempertahankan sesuatu yang tidak efektif dan efisien sedangkan itu menjadi beban masyarakat itu sendiri?
Dengan kemajuan zaman dan perubahan pola pikir masyarakat, dengan sendirinya kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat terdahulu lambat laun akan berubah atau ber-evolusi menjadi kebudayaan yang lebih baru lagi, kebudayaan yang sesuai dengan masyarakat yang hidup dimasa itu. Baik melalui perekayasaan atau dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kondisi sosio kultural masyarakat itu sendiri.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat lampung, tidak mungkin bisa dihindari. Faktor dominan yang mengkondisikan perubahan pola hidup dan perilaku-perilaku lainnya dalam masyarakat lampung adalah keragaman yang mengelilingi lingkungannya. Jika ditanya dimana letak kampung orang lampung berada, dimana bahasa lampung digunakan, dimana biasanya acara ke-adat-an diadakan? Jawabnya gampang, lihat saja kampung-kampung tua yang tidak terurus, tidak rapi dan dekat jalan raya. Kebanyakan anak mudanya mengenyam pendidikan yang minim, pekerjaan yang tidak menentu dan etos kerja yang patut dipertanyakan.
Beragam masalah diatas, lambat laun akan mengubah pola dan perilaku masyarakat lampung. Dari cara berbicara, apa yang dimakan, apa pekerjaannya. Dinamika yang melingkupi ini juga dipengaruhi oleh lingkungan yang telah berubah. zaman dulu orang lampung tidak begitu beranggapan tanah begitu penting, karena jumlah masyarakat yang sedikit dan tanah yang luas. Tetapi kini, tanah begitu berharga, konflik pertanahan ada dimana-mana. Tanah sejengkal saja harus dipertahankan dengan golok, jika tidak, maka orang lampung akan hidup terasing dinegeri sendiri, menjadi miskin dikampung halaman sendiri. Mengemis, memeras dan melakukan kejahatan menjadi alternatif yang sulit ditolak jika tidak diantisipasi sedini mungkin.
Apakah kebudayaan yang berkembang nantinya harus lahir dari rahim masyarakat yang mengalami kesulitan dari aspek sosial yang melingkupinya. Kompleksitas ini akan mengubah tata cara pengambilan keputusan didalam masyarakat. Faktor-faktor diatas akan mengakibatkan pergeseran kebudayaan yang telah mentradisi. Orang akan menganggap pengambilan gelar sudah tidak begitu penting karena kodisi jaman serta ekonomi yang tak mendukung. Maka lambat laun masyarakat akan mencari format baru yang sesuai dengan kondisi mereka.
Perubahan dalam pelaksanaan adat juga tidak hanya terjadi pada masa sekarang jika itu memang terjadi. Karena ia bersifat kesepakatan-kesepakatan para wakil masyarakat adat yang dalam konteks ini keterwakilan tersebut diwakili oleh Penyimbang Adat. Pada masyarakat abung siwo migo, kelembagaan adat pernah terjadi konsensus yang membentuk Bandar Pak atau Bandar Empat.
Ini adalah salah satu bentuk pembaruan kebudayaan lokal yang terjadi pada masyarakat abung siwo migo. Bandar Pak yang merupakan sub kultur dari Abung Siwo Migo terbentuk dengan eksklusifitas mereka sendiri. Mereka yang terdiri dari kampung Terbanggi, Mataram, Buyut dan Surabaya telah membentuk dan melembaga dalam Bandar Pak.
Eksklusifitas ini dapat di lihat dari pelaksanaan Gawi Adat. Pada sesi pembukaan acara Cangget Mepadun dimulai biasanya perwakilan dari seluruh buay menari cangget dengan mengitari perwakilan dari buay nuban, yang dalam konteks ini adalah bay (saudara perempuan) dari buay yang lain. Oleh karena itu penari laki-laki nuban menggunakan siger perempuan sebagai bentuk simbol kebuayan mereka. Tatapi lain halnya dengan Bandar Pak mereka melakukan tarian yang sama tetapi dengan kelompok Kebandarannya, sedangkan bagi mereka yang tidak termasuk kebandaran tersebut tidak terlibat didalamnya.
Itulah salah satu bentuk perubahan tata cara keadatan yang ada. Dan tentunya ini akan mempengaruhi kondisi kultural masyarakat. Dari nama, sebutan, bentuk tari-tarian dan sebaginya. Bahasa juga lambat laun berubah sesuai dengan kondisi zaman. Yang sesuai dengan gaya komunikasi masyarakat saat ini. Begitu juga dengan bentuk aksara lampung yang mengalami perbaikan-perbaikan.
Dilain pihak yang menjadi pertanyaan besar adalah peran tokoh-tokoh adat yang merepresentasikan masyarakat adat. Peran lembaga-lembaga keadatan juga harus dipertanyakan. Jangan hanya dijadikan kendaraan politik yang berakibat terpecahnya masyarakat adat itu sendiri menjadi sub-sub yang lebih kecil. Lembaga adat harus berkonsentrasi penuh dalam pengembangan adat sebagai salah satu kebudayaan bangsa.
Bagi penulis, perubahan-perubahan pada setiap kebudayaan adalah sebuah keniscayaan. Ia menyesuaikan diri dengan lingkungan dan zaman. Ia terbentuk dari konsensus, kebiasaan dan faktor-faktor lainnya. Begitu juga dengan budaya lampung lambat laun ia akan ber-evolusi, menyesuaikan diri dengan masyarakatnya yang jauh berbeda dengan masa leluhurnya terdahulu.
Perubahan pasti datang. Kemirisan yang terjadi adalah ketika budaya itu berubah menjadi budaya yang negatif dan meninggalkan aspek masyarakat yang berkebudayaan. Yang harus dipertahankan adalah nilai atau substansi dari budaya tersebut. Jangan sampai budaya lampung tergerus oleh nilai-nilai yang menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai yang membentuk identitas dan kekhasannya sendiri. Sehingga kebudayaan lampung kan mati dan tinggal memori.
Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Essai, Lampung Post 2007