Breaking News

Bisnis "Hercules" di Lampung (2)

Bisnis "Hercules" di Lampung : Dalam kondisi tersebut, Rm MB bertanggungjawab dan menjemput pemilik kendaraan untuk dilindungi dari gangguan atau pemalakan. Tanjakan Cakat memang dikenal rawan karena di sana sering terjadi mobil truk yang tergelimpang atau gagal menanjak. Keadaan tersebut dimanfaatkan untuk menyediakan jasa tarik mobil, dongkrak dan tunggu mobil dengan imbalan yang tidak kecil tentunya.

Di beberapa lokasi, penyedia jasa pengamanan biasanya merupakan orang-orang yang memiliki akses langsung terhadap aparat penegak hukum. Mereka juga kebanyakan warga asli daerah yang memiliki kuasa seperti keluarga kelompok tradisional atau penguasa kelompok adat setempat. Keberadaan mereka semakin eksis karena juga merekrut anggota yang berasal dari berbagai latarbelakang yang kebanyakan anak-anak muda warga setempat.
Praktek di lapangan, anggota-anggota ini yang biasanya standby di posko. Mereka akan siap melakukan pengawalan jika dibutuhkan. Mereka juga siap memberikan bantuan kepada pemakai jasa jika mengalami gangguan di perjalanan (selama masih terjangkau).

Penulis mencatat, hanya Kota Bandarlampung, Kota Metro, Pringsewu dan Lampung Barat yang bebas dari keberadaan jasa pengamanan (khusus untuk Pesisir Barat, hanya ada jasa bantuan kecelakaan mengingat jalan yang rawan berupa tebing dan berkelok). Jalur di empat wilayah tersebut bisa dibilang bebas dari aksi penodongan, perampokan/penjarahan, bajing loncat dan pungli.

Makin ramai dan menggiurkannya penyedia jasa pengamanan memicu munculnya kelompok-kelompok baru. Gelimang uang melalui pembentukan kelompok jalanan menggiurkan mereka yang nekat. Lihat saja, beberapa pengusaha yang khusus memakai jasa pengamana kelompok tertentu.

Salah satu kelompok usaha minyak sawit misalnya, memakai jasa tiga kelompok sekaligus untuk mengamankan mobil-mobil tanki pengangkut CPO. Seorang pengusaha penyewaan alat berat, memakai juga kelompok tertentu. Bahkan terkadang pengawalan dilakukan mulai dari keluar Gudang di Bandarlampung menuju lokasi yang dituju. Bahkan, pengusaha jasa konstruksi sampai harus membawa "hantu laut" untuk menghindari gangguan dari raja jalanan itu.

Sayangnya, makin banyak kelompok, bukanya makin bersaing sehat, justru makin banyak penyedia jasa pengamanan yang tidak bersikap profesional. Mereka enggan memberikan bantuan meski pemakai jasa telah memberikan uang. Kelompok tidak bertanggungjawab ini pun tersebar merata di semua jalur lintas sumatera. Kelompok ini yang biasanya ditangkap polisi karena dianggap hanya melakukan pemerasan berupa pungli.

Pergeseran fungsi dari jasa pengamanan menjadi pungli terjadi beberapa tahun terakhir seiring merebaknya bianis penyedia jasa pengamanan. Kondisi ini bisa dibilang mudahnya mendapatkan uang melalui pungutan kepada kendaraan yang lewat, khusnya kendaraan muatan barang. Mendapatkan uang dengan mudah menggelapkan mata untuk melakukan apapun.

Kondisi yang memprihatinkan memang. Begitu banyak posko dan di setiap posko, si sopir harus memberikan uang keamanan. Sementara, uang tersebut dialokasikan dari uang jalan yang juga tidak banyak. Kondisi ini mungkin hanya dialami pemilik jasa angkutan dan barang.

Apapun alasanannya, entah itu soal perut atau soal memenuhi kebutuhan hidup, tindakan melakukan pungutan tidak resmi tidak bisa dibenarkan. Penulis ingat sebuah ucapan salah satu teman, Duki Irawan, jika kita membenarkan  hal salah secara terus-menerus, maka hal yang salah akan menjadi hal benar.

Contoh, kelompok berkedok jasa pengamanan yang mengganggu pengguna jalan mulai tumbuh bak jamur di musim hujan. Penulis mencatat, ada banyak sekali pungli yang terjadi secara berjamaah di Lampung (murni pungli, bukan jasa pengamanan). Di simpang tiga dari Natar menuju Negeri Sakti, di depan Bandara Raden Intan, pertigaan Tegineneng-Metro, Simpang 3 Gunung Tiga dan Simpang Terbanggi, Jepara Kampung, Jabung, simpang Gayam dll. Itu menjadi potret buram kondisi keamanan di Lampung.

Keadaan tersebut yang di jalan lintas, belum lagi jalan lingkar dan jalan Kampung. Penulis ingat pada tahun 2015 silam, ketika melintasi Jalintim di Kabupaten Lampung Timur, mobil diarahkan melalui jalur lingkar kampung karena di Jalan Utama ada sebuah truk menggelimpang.

Melewati jalan kampung, rombongan penulis dihentikan oleh setidaknya tiga pos yang tiap pos meminta uang lewat 10 ribu. Hanya karena mobil melewati jalan kampung warga. Sungguh sangat mengganggu.

Bahkan, lokasi wisata pun tidak luput dijadikan area pungli. Lihat saja saat libur akhir pekan di jalan menuju Teluk Kiluan, Tanggamus, ada berapa pos yang melakukan pungli?.

Tidak diketahui secara pasti apa motif seseorang ikut serta dalam jasa pengamanan dan bahkan melakukan pungli. Mungkin mereka butuh pekerjaan untuk hidup yang terkait urusan perut atau malah mereka enggan kerja keras demi uang yang tidak seberapa?. Atau karena merasa memiliki kuasa atas wilayah tertentu?.

Pemberantasan kegiatan pungli ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh jajaran Polda Lampung era Heru Winarko dan Edwarsyah Pernong. Belasan orang diamankan dari lokasi pungli di wilayah Terbanggi Besar. Lalu apakah itu membuat jera, ternyata tidak. Dari lokasi yang sama, beberapa kali sudah ditangkap pelaku pungli berkedok jasa pengamanan, tetapi tetap saja muncul generasi baru pelaku pungli.

Kondisi ini bukannya tidak diketahui oleh orang banyak. Bahkan sangat mustahil kejadian nyata di depan mata tentang praktik jual beli keamanan ini tidak diketahui media. Mungkin mereka (insan pers) memilih diam karena enggan berurusan dengan para penguasa jalanan yang dikenal nekat.

Pemberantasan pungli yang membuat para sopir dan pelaku usaha resah seperti buah simalakama. Ketika memang harus dilakukan pembersihan terhadap kelompok-kelompok tersebut, mau dikemanakan para anggota. Adakah lapangan pekerjaaan bagi mereka, adakah pelatihan keterampilan, adakah jaminan kehidupan?.

Atau justru mereka malah akan menjadi lebih beringas dengan menjadi pembegal baru, pelaku curanmor baru, bajing loncat baru, perampok baru atau pencuri karet baru. Jika tetap dibiarkan, kasihannya para supir truk dan pelaku usaha. Mereka terzalimi atas nama "demi keamanan" di bumi nusantara.

Penulis mengingat sebuah pengakuan  salah seorang anggota kelompok pengelola jasa pengamanan di Menggala. Baginya, sudah tidak ada pilihan lain untuk mencari penghidupan.

"Dulu tanah bapak saya luas. Lama kelamaan, tanah dijualin. Tanah kami habis, tinggal sepetak rumah. Mau jadi buruh angkut singkong nggak mungkin, jadi penyadap karet nggak mungkin. Sekarang kami dihina-hina orang. Tapi yang penting saya nggak maling,"begitu kira-kira ucapannya.

Kalimat terakhir sepertinya menjadi pembelaan sekaligus pembenaran. Tetapi, apakah itu bisa dibenarkan. Pembelaan konyol itu malah akan menjadi pembenaran atas tindakan melanggar hukum yang lain.

Pelaku begal akan membela dengan "yang penting saya nggak membunuh". Pelaku begal dengan pembunuhan membela dengan "yang penting saya nggak ngerampok dan memperkosa". Pelaku perampokan dan perkosaan akan membela "yang penting saya nggak pilih Ahok". Pembelaan-pembelaan yang menjadi lingkaran setan.

Merebak dan semakin luasnya aksi pungli justru menimbulkan Keresahan baru bagi warga lain. Tidak jarang, keresahan warga menjadi api dalam sekam yang kemudian muncul jadi Sumber konflik baru. Ketika ada masalah sedikit, dibumbui dendam dan kesal atas tindakan pungli, terjadilah aksi kekerasan.

Masih lekat dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu terjadi konflik di tanah hutan register di Kabupaten Tulang Bawang Barat yang menewaskan tiga orang. Santer terdengar pemicu konflik  karena adanya aksi pungli.

Kondisi ini nyata dan ada dalam kehidupan masyarakat kita. Sudah sangat sulit untuk membenahi karena memang sudah hampir akut. Imbasnya kepada image Provinsi Lampung itu sendiri. Sepertinya akan sia-sia program visit Lampung.

Yang kerap muncul dan menjadi pembicaraan media secara luas adalah konflik warga karena ketidakpuasan dan kekecewaan atas penegakan hukum, keluhan atas aksi pungli. Ditambah "nyanyian" sopir-sopir dari Pulau Jawa atas kerawanan perjalanan di Lampung. Habislah Image Lampung tanoh lado.

Dari sisi ekonomi pun, kita para konsumen jelas akan dirugikan. Kerawanan dan aksi pungli akan menambah biaya operasional penyaluran barang. Kejadian ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Distribusi menjadi tidak lancar, harga barang jadi lebih tinggi. Masyarakat luas pun terkena dampaknya secara tidak langsung.

Beroperasinya kelompok jasa pengamanan maupun pelaku pungli justru membuat mandeknya geliat perekonomian di suatu daerah. Keengganan pelaku usaha masuk karena tidak ada jaminan keamanan. Dampaknya terjadi stagnasi perekonomian suatu wilayah dan tidak akan berkembang. Daerah yang enggan dimasuki pelaku usaha makin sepi, kehidupan makin sulit dan kerawanan makin tinggi. Akan semakin menjadi di masa yang akan datang.