Breaking News

Sudah kah (Peran) Saya menjadi Ayah?

Sudah kah (Peran) Saya menjadi Ayah?
Seorang laki laki yang memiliki anak baik secara biologis(kandung) maupun non biologis(anak angkat). Ya, singkat kata pengertian itu lah yang ada di benak penulis tentang pengertian seorang laki laki yang menyandang predikat ayah. Menjadi seorang suami bagi istri, pencari nafkah, komandan dalam sebuah keluarga adalah beberapa tugas bagi mereka yang berpredikat ayah. Hal tersebut tentunya belum termasuk tugas membetulkan genteng bocor, mengecat rumah, mencari kayu bakar, hingga memandikan anak.
Sudah kah (Peran) Saya menjadi Ayah?
oleh:
Adi Prayogi
Seorang Ayah dan Pekerja Keras
Sering kali, seorang ayah lebih terfokus dengan karir, pekerjaan, atau dunianya hingga melupakan kewajibannya mendampingi tumbuh kembang sang buah hati. Hal tersebut sering di lumrah kan seseorang, pun termasuk penulis. Beban ekonomi yang semakin membengkak, diiringi cita-cita tertentu tentunya memotivasi kita bekerja dengan waktu dan tenaga berlebih.

Seorang rekan yang terlihat asik bergelut dengan profesinya bahkan tak sadar kini anaknya telah memasuki usia sekolah TK (Taman kanak_kanak). Padahal menurutnya pekerjaan itu baru saja ia mulai ketika istrinya sedang hamil tua.”kayaknya baru kemarin istri saya ngelahirin anak saya yang itu, kok tau2 sekarang sudah mau TK” celotehnya.  Apakah hal tersebut salah??

Hmmm...jawaban yang sulit tentunya. Bagi mereka yang bekerja di perusahaan multi nasional, berpindah pindah tempat kerja adalah hal yang biasa. Bagi mereka yang bekerja di kota besar, tiba di rumah saat larut malah adalah hal yang wajar.

Disisi lain tumbuh kembang dan pola pikir anak sangat minim di pengaruhi doktrin doktrin positif dari keluarga. Lalu apa yang terjadi jika kebersamaan dan ikatan emosional dengan anak sangat minim??Jawaban yang sangat kita takutkan adalah jika anak anak kita salah melangkah ke dunia negatif.

Melakukan tindakan kriminal karena terbawa komunitas teman, dewasa prematur karena melihat hal hal yang berbau pornografi, awam dengan aqidah, bertindak diluar etika. Itu hanya sebagian ketakuan sang penulis tatkala terlalu bergelut dengan kesibukan pekerjaan yang mengatasnamakan nafkah.

Yakini lah, bahwa apa yang kita sedang lakukan saat ini tentunya buat masa depan anak anak kita. Tapi kita sering melupakan dunia kanak-kanaknya, usia tumbuh kembangnya. Adakah kepuasan tatkala harta yang terkumpul banyak, namun anak yang umuran sekolah SMA pulang larut malam dan dalam kondisi mulut yang berbau alkohol. Adakah kepuasan tatkala karir di pekerjaan kita moncer tetapi anak perempuan kita hamil di luar nikah.

Komunikasi antara ayah dan anak tentu lah sangat penting, termasuk meluangkan waktu untuk mereka. Ingat, menjadi ayah yang baik adalah ketika sang anak berani menceritakan kesalahan dan kelalaiannya kepada kita. Berani menegur kesalahan kita, berani mengingatkan kelalaian kita, dan bukan sebaliknya.

Ketika saat usia anak anak kita balita, tentulah tinggi cita-cita kita (ayah) untuk menjadi sang anak sebagai orang yang sukses, anak yang berbakti kepada orang tua , agama dan bangsa. Namun, hal tersebut akankah terjadi jika di hari libur kerja kita tak bercengkrama dengannya. Disaat waktu luang kita mencari kesibukan lain. Di saat senggang kita tak menuntunnya untuk belajar mengenal ajaran agama.

Rekan saya yang lain pernah bercerita tentang topik ini. “urusan mengurus anak kan urusan istri, kita laki laki mah taunya kerja”. Sempat termenung memikirkan argumen teman saya tersebut sejenak. Kalau emang hanya membesarkan seorang bayi menjadi seorang yang dewasa tentunya saya yakin seorang istri bisa membesarkan empat hingga tujuh anak sekaligus. Tapi apakah mereka akan berkembang sesuai harapan kita dan passion si anak, tidak jaminan tentunya.

Bukan hal yang asing dewasa ini kita mendengar cerita  bahwa anak pemuka agama tewas saat mabuk, anak tokoh masyarakat berbuat cabul, anak aparat penegak hukum malah berbuat kriminal. Ya tentunya hal tersebut menjadi momok bagi laki-laki dengan predikat ayah. Nabi Muhammad SAW pun bersabda “ jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan anak anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya ”.

Ya, memahamkan aqidah,dan ahlak sejak dini kepada mereka tentu investasi bagi seorang ayah ketika sudah meninggal dunia. Tidak cukup bagi kita ber irit irit ria demi menyenangkan atau membelikan keinginan sang anak jika hal tersebut ternyata adalah boomerang bagi kita dan sang anak sendiri. Sebagai contoh, seorang ayah rela membelikan anak di usia SD,SMP, dan SMA sepeda motor baru karena teman-teman yang lain sudah memiliki sepeda motor.

Namun, sejauh mana pengawasan ayah terhadap pemberiannya tersebut. Siapkah sang ayah menjadi orang nomor satu yang teriak bertanggungjawab jika sang anak terjadi kecelakaan?? Jika kita tak siap mengawasinya, sama halnya kita menggalikan kubur untuk mereka. Terlalu kasar mungkin, tapi begitulah adanya. Itu baru motor, hal lain seperti handphone dan akses internet juga menyumbangkan waktu tambahan untuk pengawasan terhadap sang anak.

Kedekatan antara ayah dan anak yang menjadikan mereka sebagai sosok sahabat karib mungkin itulah yang perlu kita bangun. Ayah yang menjadi pemarah ketika sang anak bandel hingga mengeluarkan kata-kata kotor sebisa mungkin kita tahan. Kita yanrg berumur saja terkadang tak bisa melupakan ucapan orang lain yang telah melukai hati kita, apalagi anak-anak yang memori dan daya ingatnya masih segar.

Mencari angin segar atau keluar rumah berdua, olahraga , nonton tv bareng, mencuci kendaraan bersama adalah hal ringan yang dapat membuat kedekatan antara kita dan anak. Mengantar dan menjemput anak sekolah,sholat berjamaah, saling menyapa sebelum dan sesudah tidur, makan bersama, atau bahkan bergantian mencuci piring. Bisa juga mencontohkan mereka langsung dengan perbuatan kita sehari-hari. Ajari mereka menyayangi kita dengan cara mereka melihat kita menyayangi orang tua kita. Ego kah seorang ayah untuk menjadi sahabat bagi sang anak demi kedekatan emosional, tentu tidak kan.

Ingat para ayah, pekerjaan yang sudah tidak kita lakukan adalah bekas pekerjaan, wanita yang sudah tidak menjadi istri adalah mantan istri, namun tidak ada kata bekas/mantan bagi anak kita.
                                                                           

*dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud mengajarkan bagaimana menjadi seorang ayah yang baik dan tidak bermaksud mengoreksi laki laki yang berpredikat ayah (siapapun itu). Ini adalah buah pikir atas mirisnya tindakan kriminal dan asusila yang di lakukan anak-anak, dimana hal tersebut adalah tanggung jawab dari peran seorang ayah. Lalu, siapkah(kita) menjadi ayah?.