Selayang Pandang Reformasi Dan Demokratisasi Indonesia
Selayang Pandang Reformasi Dan Demokratisasi Indonesia : Pada masa runtuhnya Orde baru dan memasuki Era Reformasi, Indonesia bagaikan dilema. Ricuh, intimidasi, tuntutan, krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik, menghiasi wajah Indonesia. Siapa sangka, negara yang dijuluki macan asia ini harus tunduk berlutut dalam waktu singkat.
Kekuatan masa lalu hanya menjadi kenangan, otoritarianisme yang dijalankan oleh Soeharto dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi dan politik
Ditengah suasana yang tidak menentu tersebut muncullah tokoh-tokoh yang mewakili ketertindasan, yang diharapkan mampu memberikan angin segar bagi masyarakat. Mereka bagaikan malaikat penolong disuasana yang genting. Karena rakyat kehilangan panutan dan petunjuk untuk menentukan nasib mereka yang tak pasti.
Reformasi menjadi istilah yang populis, dan siapa yang menentang reformasi akan dicap sebagai orang orde baru (Orba) yang harus disingkirkan. Rakyatpun melakukan monitor pada isu reformasi disegala bidang, baik dari segi konstitusional maupun pada tataran praktis lainnya.
Kata reformasi pada dasarnya tidak asing bagi kebangsaan Indonesia, karena kata-kata itu hanya mengubah kata pembaharuan yang tempo dulu sering didengungkan. Kata pembaharuan digunakan pada masa orde baru sebagai semangat baru dan meninggalkan kebobrokan yang dilakukan orde lama. Mungkin saja, para tokoh pergerakan kita lebih menyukai kata reformasi dari pada kata pembaharuan yang dekat dengan orde baru. Untuk menjunjung reformasi maka kata pembaharuan, direformasi menjadi reformasi.
Artinya, pada tataran sekecil apapun, reformasi telah mempengaruhi dinamika masyarakat Indonesia. Baik dari segi pola laku, pola pikir dan pola sikap. Sehingga simbol-simbol orde baru harus di reformasi, sebagai representasi penegakan reformasi dan demokratisasi di tanah air Indonesia.
Namun, untuk menegakkan semangat reformasi dan demokratisasi di Indonesia tersebut bangsa Indonesia harus membayar nyawa putra-putranya sendiri. Dan, rakyat harus menanggung derita pengorbanan, dari segi ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.
Alfi Rahmadi mengungkapkan bahwa dalam masa transisi dari oligarki ke demokrasi, memang rentan terjadi euforia perubahan. Dengan kata lain, atmosfir perubahan mekanisme hubungan antar variabel sosial tidak terkontrol. Mulai dari arena politik sampai pergulatan pemikiran idiologi yang serius. Jika tidak mampu dikendalikan justru gampang dipolitisasi oleh kelompok tertentu yang berakhir pada kekerasan.
Tidak bisa dipungkiri, benturan kebudayaan pada masa orde baru dibungkam, rakyat diam dan memendam. Ketika reformasi tiba semuanya memecah hingga terjadi kericuhan yang berisu SARA, konflik sosial terjadi dimana-mana. Rakyat sudah tidak asing lagi dan akrab dengan konflik, satu sama lain saling curiga, saling mencari kelemahan untuk dijatuhkan. Perlu waktu yang lama dan biaya yang tak sedikit untuk beradaptasi dan menemukan solusi untuk menyelesaikan konfik tersebut.
Dari segi ekonomi, rakyat harus menanggung derita dengan kehilangan pekerjaan yang selama ini ditekuninya. Kemiskinan mewabah dan meningkat tajam. Ditambah lagi harga yang melambung tinggi, orang-orang kelaparan dan anak-anak yang terlantar. Orang tua yang tidak mampu menahan derita, tega untuk menjual darah dagingnya sediri. Bahkan banyak kasus yang dilakukan dengan membunuh anak-anaknya lantaran faktor ekonomi.
Penegakan hukum di Indonesia juga mengalami hal yang lebih baik dibanding sebelumnya, dengan tertangkapnya para koruptor dan kejahatan lainnya mengindikasikan perangkat hukum yang bekerja. Walaupun pada tataran lainnya, kriminalitas semakin meningkat baik dari level bawah sampai pada level atas.
Penegakan Demokrasi
Hal yang paling mencolok pada masa reformasi ini adalah berhasilnya rakyat Indonesia untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden langsung. Setidaknya rakyat telah menentukan pilihannya untuk memilih masinis dalam mengemban tugas kenegaraan. Bukan hanya itu semangat otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) merupakan kebanggan yang harus tetap dijunjung. Sehingga keberlangsungan negara Indonesia akan terus terpacu dalam semangat reformasi.
Disamping itu, tentu kita tidak boleh melupakan peran pers dan mahasiswa. sebagai pilar ke-empat dan ke-lima demokrasi, peran kedua elemen ini sangat menonjol. Dengan melakukan aksi dalam menyuarakan reformasi keduanya bekerja sama dalam menjunjung transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan penegakan hukum secara adil.
Apa jadinya jika kedua elemen ini tidak turut bergerak dalam menjalankan amanah rakyat. Tentu, sosial kontrol tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Rakyat akan terombang ambing dalam ketidak pastian.
Kebangkitan insan pers dari intervensi orde baru telah membukakan mata rakyat indonesia dari tertidur yang terpaksa. Rakyat diberikan informasi yang beragam sehingga rakyat mampu menelaah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini.
Peran pers sangat membantu dalam menciptakan opini dan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi terbuka wawasannya dan bersikap kritis.
Bagi mahasiswa, pers adalah partner yang dapat membantu penegakan demokrasi di Indonesia. Pergerakan mahasiswa akan sulit dan terhambat jika tidak ditopang oleh peran pers didalamnya. Begitu pula sebaliknya pers akan sulit bergerak jika tidak ditopang oleh pergerakan mahasiswa, semuanya menjadi hambar, ibarat sayur tanpa garam.
Keduanya akan bergerak terus dan mengkontrol perubahan yang terjadi dan tidak akan memberikan ampun bagi mereka yang coba-coba menghianati rakyat. Rakyat tidak bisa disakiti, rakyat tidak mau disakiti, jika disakiti rakyat akan melawan dan terus melawan.
Agenda reformasi memang belum usai, pergolakan masih terus berlanjut, bahkan perkembangan idiologi-idologi di Indonesia semakin gencar baik yang mengatas namakan ekstem kanan maupun ekstrem kiri. Siapapun dia sah-sah saja jika ingin berpartisipasi aktif dalam memajukan bangsa Indonesia. Tetapi yang menjadi catatan adalah tindakan tersebut harus berlandaskan moral dan etika, sehingga semangat reformasi tidak diselewengkan hanya untuk kepentingan pihak tertentu saja.
Bagi mereka yang merasa disakiti, mari bangkit, simpan sejarah sebagai pelajaran dan Jadikan sejarah sebagai landasan perjuangan. Tapi, jangan bakar dendam dalam hati, karena bangsa ini bukan hanya untuk kelompok kita semata namun untuk semua. Agenda kita adalah meluruskan kembali jalan reformasi, jangan simpangkan jalan reformasi.
Perkembangan demokratisasi yang ditandai dengan alam keterbukaan dimana kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul di junjung tinggi. Namun melalui ungkapan bijak ”kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain”, penerimaan atas kebebasan orang lain adalah bentuk demokratisasi itu sendiri.
Pada suasana demokrasi saat ini, kecenderungan munculnya kekuatan-kekuatan yang berkompetisi, dalam bahasa Hikam, fase perubahan terebut ditandai dengan pertarungan antara beberapa kekuatan yang ingin muncul sebagai paling dominan dan menjadi penentu fase penata dan normalisasi berikutnya.
Perilaku ini dapat dianalisis pada kondisi Indonesia kontemporer, penentuan kabinet dan posisi strategis lainnya mungkin tidak lebih dari power sharingdan desakan pihak-pihak tertentuwalaupun dengan dalih koalisi tanpa syarat. Dimana kekuatan-kekuatan yang ada ingin muncul mencari simpati masyarakat dan unjuk kekuatan. Politik dagang sapi, menjadi lumrah dan para penguasa tidak lebih dari melakukan dagelan politik.
Konsepsi dalam menjalankan demokratisasi di Indonesia selalu terbentur oleh budaya bangsa kita yang sulit melepaskan feodalisme. Sejarah Indonesia mencatat, fase-fase demokratisasi yang beragam, mulai dari Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila lahir sebagai kekuatan otoritas tertentu. Pada akhirnya otoritas tersebut belum melahirkan akumulasi pertumbuhan masyarakat madani (civil society) bahkan sebaliknya.
Dari masa kemasa Indonesia selalu terjebak pada masa revolusi pemikiran. Revolusi pemikiran yang terjadi hanya selesai pada tataran konseptual dan sulit untuk di implementasikan. Yang menjadi catatan penting adalah, apakah revolusi pemikiran ini harus dituntaskan dengan revolusi fisik.
Adanya gerakan-gerakan yang ingin mengarahkan reformasi menjadi revolusi selalu terhambat oleh phobia terhadap revolusi. Bisa dikatakan bangsa kita terjangkiti paranoid yang berkepanjangan. Namun, apakah dengan datangnya revolusi fisik tersebut akan memberikan keadaan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia atau justru melahirkan otoritarianisme gaya baru.
Lalu bagaimana dengan revolusi mental? Sudahkah menyentuh kalangan elit yang katanya mentalnya justru lebih bobrok dari pada akar rumput?
Atau bagaimana jika oknum media (pers) dan mahasiswa sudah dibeli oleh penguasa? hmmm...