Breaking News

Peran Kaum Intelektual Muda

Tulisan ini Peran Kaum Intelektual Muda merupakan tulisan penulis (Guntur Subing) yang diterbitkan di halaman opini Teknokra, Surat Kabar Mahasiswa Unila:

Peran Kaum Intelektual Muda

Regenerasi merupakan hukum alam yang tidak dapat ditolak, ditunda maupun dihindari. Bagaimanapun juga yang muda akan menjadi tua, yang tua perlahan-lahan akan menghilang digantikan yang muda. Begitu seterusnya, kehidupan bagaikan roda yang berputar, yang kecil akan menjadi besar dan yang besar akan keropos lalu pudar, yang gelap digantikan yang terang. Jika terang berubah menjadi gelap maka akan digantikan yang lebih terang. Intinya, perubahan akan terus datang pada kehidupan manusia di dunia ini.

Manusia harus siap menanti perubahan tersebut dengan konsekuensi-konsekuensi yang wajib diterimanya. Oleh sebab itu, untuk menjaga keseimbangan hidup ini yang tua harus memberikan perhatian kepada yang muda dan yang muda harus hormat kepada yang tua. Begitu juga dengan pemimpin, seorang pemimpin adalah seseorang yang melahirkan pemimpin masa depan dan tidak takut pada perubahan. Proses regenerasi terus terus berjalan dan tidak mandek pada titik ketetapan.

Pemuda adalah generasi penerus bangsa, dipundaknyalah beban warisan dan beban masa depan dipikulnya. Setiap pemuda harus mempersiapkan dirinya sedini mungkin untuk mencapai kualitas paripurna. Salah satu bentuknya adalah belajar. Maka dari itu mahasiswa mendapat gelar kaum elitnya pemuda, karena mahasiswa memiliki nilai lebih dibandingkan dengan lainnya.

Sebagai mahasiswa kita ditantang untuk tetap survive dimanapun, dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan siapapun. Tantangan itulah yang menjadi beban moral kita sehingga kita dituntut untuk mengeluarkan ide-ide brilyan demi kemaslahatan umat manusia. Untuk melakasanakannya kita butuh sesuatu yang lebih yakni intelektualitas.

Intelektual adalah ciri mahasiswa sebagai pemuda yang terdidik dan terpelajar, kaum intelektual adalah mereka yang independen, dan terbimbing untuk mengembangkan suatu pola pemikiran tentunya, biasanya kaum intelektual tersebut memiliki idiologi yang telah masuk kedalam pikirannya, hati bahkan perbuatannya. Ia sulit di kooptasi maupun ditindas dalam segi pemikiran dan tindakan.

Ali Syari’ati dalam (Jalaluddin Rahmat) mengatakan bahwa menurut seorang penulis Perancis, idiologi adalah suatu kata magis yang mampu mencetuskan pemikiran dan godaan hidup atas manusia khususnya bagi kaum muda dan lebih khusus bagi kaum intelektual. Lebih lanjut Syari’ati menerangkan bahwa istilah idiologi yang dibentuk oleh kata Idio yang berarti pemikiran, khayalan, konsep, keyakinan dan sebagainya, dan kata logi yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan. Dapat didefenisikan sebagai ilmu tentang keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan.

Menurut pemikiran syari’ati tersebut bahwa idiologi menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (committed). Bagi idiolog tertentu, idiologinya adalah suatu keharusan. Setiap idiologi mulai dengan satu peringkat sikap kritis, kritis atas status-quo suatu masyarakat dan berbagai aspek kebudayaan, ekonomi, politik dan moralnya yang cenderung menghambat perubahan yang diinginkan.

Tulisan diatas menggambarkan bagi kita bahwa idiologi selalu beriringan dengan kaum intelektual, bahwa kaum intelektual tersebut dapat melahirkan idiologi-idiologi baru. Sebuah pemikiran yang menginginkan adanya kesetaraan taraf hidup orang banyak melalui pola-pola pemikiran yang diandaikannya. Tetapi pada dasarnya benturan-benturan akan selalu terjadi bila pemikiran-pemikiran tersebut diaktualisasikan pada kehidupan nyata. Seperti kita ketahui bersama, bagaimana pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia mengalami benturan-benturan yang sangat kuat. Masih ingat dalam benak kita, komunis begitu bernafsu menumbangkan pancasila. Kesimpulannya, perjuangan idiologis adalah perjuangan yang membutuhkan pengorbanan besar baik harta maupun nyawa.

Perang yang terjadi di dunia ini pada awalnya dilandasi oleh suatu idiologi, dapat dikatakan bahwa perang sebenarnya adalah saling benturannya idiologi yang satu dengan lainnya. Perang dingin yang terjadi pada waktu itu dapat kita saksikan sebagai bertarungnya dua idiologi besar yakni komunis dan kapitalis. Siapapun yang menang dialah yang akan menguasai perubahan, dan perubahan tersebut adalah perubahan menurut sang pemenang. Dominasi tersebut sulit untuk dihilangkan hingga datangnya idiologi baru yang bertarung pada panggung kehidupan. Artinya, kebenaran yang ada pada kondisi ini adalah kebenaran yang berasal dari sesuatu yang menang, bukan kebenaran dalam arti yang sebenar-benarnya kebenaran.

Oleh sebab itu Allah menurunkan para Nabi dan Rosul untuk menegakkan dan menyampaikan kebenaran tersebut kepada manusia. Tetapi, pada kondisi saat ini nabi dan rosul telah tiada. Lalu siapakah yang akan menggantikannya? Siapakah yang akan memperjuangkan kebenaran? Menciptakan perdamaian?

Menurut Syari’ati mereka adalah kaum intelektual, Rausyanfikr. Menurut Jalaluddin Rahmat, rausyanfikr adalah kata persia yang artinya “pemikir yang tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut Intellectual atau freethinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuan. Seorang ilmuan menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuan hanya menampikan fakta sebagaimana adanya, rausyanfikr memberikan penilian bagaimana seharusnya. Ilmuan berbicara dengan bahasa universal, rausyanfikr seperti para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya.

Sebagai pemuda yang terdidik dan terpelajar ada baiknya kita memposisikan diri menjadi kaum intelektual atau rausyanfikr yang tetap pada pondasinya membawa bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Amin..


Teknokra, edisi 66, 15-31 Maret 2005

Baca Juga : Potensi Blog Untuk Generasi Muda dan Tantangannya