Masyarakat Adat Dan Hak Ulayat
Masyarakat Adat Dan Hak Ulayat : Konflik pertanahan bukanlah barang baru, pada era orde baru dan era reformasi masalah pertanahan menjadi masalah yang tak kunjung reda. Masing-masing pihak yang merasa memiliki haknya atas tanah tersebut berusaha sekuat tenaga dan menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan kembali haknya.
Konflik pertanahan melibatkan banyak pihak antara lain individu dengan individu, individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan perusahan serta individu, masyarakat dengan pemerintah. Tak urung meja hijau pun menjadi tempat untuk mendapatkan keadilan demi menggapai kembali haknya yang terampas. Disamping dengan cara kekeluargaan yang mengalami kebuntuan.
Di era reformasi yang selalu mendengungkan demokratisasi, masalah pertanahan muncul dengan marak terjadinya penggusuran secara paksa. Secara kasat mata kondisi ini telah menimbulkan otoritarianisme melalui legalisasi dibalik ketegasan pemerintah. Kebijakan yang tak bijak, Tak ubahnya seperti orde baru.
Pengaruh orde baru begitu kuat hingga meninggalkan kenangan pahit bagi mereka yang secara langsung maupun tidak telah terampas tanahnya. Begitu juga dengan masyarakat hukum adat ( Rechtsgemeenchap) yang memiliki wilayah kekuasaan sendiri, katakanlah: hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau sebutan lainnya. Proses pengakuan hutan negara tersebut tanpa melibatkan masyarakat adat yang merupakan penduduk lokal yang berpenghidupan dari pengelolaan hutan untuk menjaga keberlangsungan hidup dan eksistensinya sebagai mahluk.
Nur Fauzi berpendapat bahwa kebijakan dan praktek pembangunan orde baru justru mempertajam ketimpangan struktur agraria, yang ditandai oleh konsentrasi penguasaan tanah dan pemanfaatan kekayaan alam yang menyertainya disatu pihak, dan hilangnya akses kontrol rakyat lokal terhadapnya. Pada kenyataannya, justru dengan sentralisme inilah berkembang konflik antara hukum adat dengan hukum negara yang rumit sepanjang masa Orde Baru-dimana hukum negara yang mengemban apa yang disebut sebagai kepentingan nasional berhadapan dengan pluralisme hukum adat yang de facto ada di dalam masyarakat.(PUSSbik,2002).
Masyarakat adat merasa memiliki hak atas hutan yang di kalim oleh negara sehingga tuntutan mereka atas hutan tersebut menimbulkan konflik dengan pemerintah. Sebagai contoh apa yang dirasakan oleh masyarakat adat adalah Masyarakat Adat desa Raja Basa Lama Induk Lampung Timur, yang bersengketa dengan Taman Nasional Way Kambas. Berbagai upaya telah dicoba oleh mereka tetapi semua pihak angkat tangan seolah-oleh merasa tidak memiliki hak untuk memecahkan masalah ini. Menurut data yang ada surat permohonan penyelesaian sengketa tanah adat ini telah sampai kepada lembaga kepresidenan, DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten, Bupati serta Gubernur.
Hingga Gubernur Lampung pada saat itu dijabat oleh Oemarsono secara lisan mempersilahkan masyarakat adat untuk mengelola lahan yang menjadi konflik. Sebelumnya tuntutan masyarakat adat ini adalah dengan cara menduduki lahan yang dipersengketakan pada tahun 1998/1999, semenjak diberikan izin secara lisan oleh Gubernur tersebutlah masyarakat adat Raja Basa Lama Induk menggarap lahan sengketa seluas 1200 ha.
Tak lama dari pendudukan tersebut, muncullah Masyarakat adat Labuhan Ratu, Muara Jaya dan Rantau Jaya Udik yang melakukan hal serupa. Tetapi pada akhirnya terjadi pengusiran terhadap masyarakat adat yang membuka lahan tersebut sesuai dengan perintah Menteri Kehutanan M.S. Kaban. Pengusiran terhadap masyarakat adat inilah yang mereka sebut dengan intimidasi dengan menggunakan legalitas Menteri Kehutanan.
Kesimpangsiuran dalam penyelesaian masalah inilah yang membuat masyarakat adat lelah menghadapinya hingga ketakutan terjadinya tindakan anarki menjadi efek bola salju yang semakin hari kian membesar. Tatapi mengapa semua pihak merasa tidak memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah yang ada?
Seolah-olah membiarkan begitu saja, justru dengan keadaan seperti ini yang dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan dibalik konflik yang ada. Perburuan liar dan penebangan hutan akan kian marak dibalik konflik yang berkepanjangan.
Memperhatikan masalah yang ada, sebetulnya hampir ditemukan titik temu dengan memperhatikan UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut. Sesuai dengan isi UU tersebut yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pada pasal 4 ayat (2) dikemukakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Didalam penjelasannya pengertian “ Dikuasai” bukan berarti “dimiliki”, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) undang-undang ini.
Pada pasal 5 ayat (3) dikemukakan bahwa pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 : dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Diakui keberadaan masyarakat hukum adat ini dalam penjelasan pasal 67 ayat 1 adalah jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain : pertama, masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap). Kedua, ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya (Indigenous institution). Ketiga, ada wilayah hukum adat yang jelas. Keempat, ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati. Kelima, masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengertian tidak “dimiliki “diatas adalah batu sandungan bagi masyarakat adat. Lalu apa fungsi dari tanah sengketa tersebut jika tidak dimiliki. Tanah adalah aset yang sangat berharga, jika tidak dimiliki lalu milik siapa? milik negara? Pada prosesnya nanti akan mudah bagi negara untuk mengambil kembali hutan ulayat tersebut dengan dalih masyarkat adat tidak berhak lagi atas tanah tersebut.
Kondisi faktual adalah seperti itu, dengan dalih untuk ketertiban umum, negara secara paksa mengganyang rakyatnya sendiri. Masyarakat adat merasa tidak puas dengan kondisi dikuasai tapi tidak dimiliki, ibarat anak kost yang menguasai kamarnya tapi tidak memilikinya. Suatu saat nanti kamar itu tak akan lagi dikuasainya apalagi untuk dimiliki jika tidak dibayar dengan harga yang setimpal.
Jika diperhatikan secara seksama bahwa sebetulnya sengketa tanah kehutanan ini dapat diselesaikan diluar pengadilan sesuai dengan UU RI No. 41 tahun 1999 Bab XII Pasal 74 ayat 2, sebagai mana pada pasal selanjutnya ( Pasal 75 ayat 2) bahwa penyelesaian sengketa kehutanan diluar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.
Pada ayat 3 dijelaskan bahwa untuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan maka dapat menggunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama, atau dapat pula melalui pendampingan organisasi non pemerintah.
Pada pasal ini secara tegas bahwa ada kesepakatan diluar pengadilan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi atau tindakan tertentu untuk pemulihan kondisi hutan. Artinya, tanah hutan yang dipersengketakan tersebut dapat saja dikembalikan haknya atas masyarkat adat atau dapat pula dengan ganti rugi. Untuk tindakan tertentu dalam pemulihan fungsi hutan ini dapat dilakukan kerjasama antara pengelola hutan dan masyarkat adat dengan dikembalikannya tanah tetapi dengan kosekuensi masyarkat adat menjaga kestabilan dan ekosistem hutan kawasan suaka marga satwa.
Jika masayarakat merasa memiliki sesuatu dan menyayangi sesuatu secara otomatis ia akan menjaganya sebaik-baiknya. Masyarkat adat dan hak ulayat merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan, karena didalamnya terdapat hak-hak asasi yakni hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu dan hak untuk menjaga identitas dirinya.
Identitas sebagai bagian dari suatu bangsa. Jika kita mengingkarinya berarti telah berusaha menghilangkan identitas diri kita sebagi bangsa yang merdeka. Peran semua pihak yang berwenang ( Pemerintah, Organisasi Non Pemerintah dan Masyarkat Adat) dalam menyelesaikan konflik ini sangatlah penting mengingat kondisi bangsa indonesia yang sensitif akibat kehabisan energi dalam memperbaiki kondisi bangsa yang carut marut seperti ini. Masyarakat adat dan hak ulayat adalah kebanggaan kita semua, jangan ingkari mereka.
Bandar Lampung, 2009