Ahok, Ditengah Lemahnya Pers Islami
Ahok, Ditengah Lemahnya Pers Islami : Setelah hampir tiga tahun tidak menulis, ini adalah tulisan pertama. Dipersembahkan secara khusus untuk seseorang disana yang telah mengajari saya dan kami menulis, membaca, menghargai sesama dan semangat membangun.
![]() |
Oleh : Anton Adi Wijaya Mantan Wartawan, Semasa Kuliah Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) |
Peran pers dalam mendorong proses demokratisasi sangat mutlak. Dalam demokrasi, setiap golongan memiliki kepentingan berbeda. Banyak saluran untuk menyampaikan kepentingan golongan, yang paling strategis tentunya pers.
Sayangnya, di negara yang golongan agama mayoritas adalah islam, justru peredaran informasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pers non Islami. Umat muslim Indonesia membutuhkan pers yang mampu mengakomodir kepentingannya. Kehadiran Pers Islami yang maju dan bermutudiperlukan agar dia bisa berperan dalam demokratisasi di Indonesia.
Santer terdengar saat ini munculnya sosok Ahokyang merupakan etnis dan beragama minoritas. Sosok yang dikenal sebagai sosok yang keras menjurus kasar ini justru mendapat tempat di masyarakat Indonesia Umumnya dan DKI Jakarta khususnya. Sulit dibantah, keterkenalan Ahok yang seorang minoritas saat ini tidak bisa dilepas dari peran pers. Terlebih Untuk saat ini, Ahok mendapatkan dukungan penuh dari Media Grup (Metro TV dan Media Indonesia) seiring merapatnya partai Nasdem pimpinan Surya Paloh (bos media grup) mendukung pencalonan Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Ahok pun mendapat tempat di koran dengan tiras terbesar di Indonesia yaitu Koran Kompas. Sulit dibantah kedekatan Ahok secara ideologis dengan Koran Kompas. Berdirinya Kompas di Era Demokrasi terpimpin Soekarno didukung oleh partai minoritas yang se-ideologi dengan Ahok. Di medio itu, media cetak dibredel oleh Soekarno dan kelahiran surat kabar harus medapatkan dukungan partai politik dan kekuatan sosial.
Sesungguhnya, saat itu pun, pers Islami bermunculan. Duta Masyarakat didukung oleh NU, Abadi didukung Masyumi, Harian Rakyat didukung PKI, Pedoman didukung PSI, Suluh Indonesia didukung PNI. sayangnya, ketika Soekarno jatuh, koran berbau Komunis dan Soekarnois dibredel oleh rezim orde baru. Pembredelan makin jadi ( pasca malari 1974). Tetapi, Kompas bisa melalui ujian bagi dunia jurnalistik kala itu. Kompas yang kebetulan didukung oleh tenaga profesional yang sudah berpengalaman seperti koran Keng-Po dan Sinpo justru makin pesat di tengah masyarakat muslim. Berbanding terbalik, pers Islami justru makin jatuh dan hilang karena hanya didukung oleh dana-dana politik. (Alex Sobur, 2004).
Atmosfer positif sempat dirasakan di tahun 80-an. Saat itu muncul Koran Pelita yang dianggap bisa menyaingi Kompas. Koran Pelita mengemukakan jatidirinya sebagai Pers Islami dan dikaitkan dengan PPP. Sayang sekali, tahun 1987, Koran Pelita ambruk karena tekanan dan pembredelan berulang oleh rezim orde baru. Tinggalah Kompas menjadi koran tunggal bertiras tertinggi yang memimpin di Indonesia.
Di era saat ini, selain Kompas, ada Jawa Pos dengan jaringan terluas melalui Jawa Pos News Nertwoking dan Media Grup melalui Media Indonesia dan beberapa koran lokal yang sudah diakuisisi. Sangat disayangkan lagi, koran-koran bertiras tinggi itu tidak satupun koran Islami. Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Pos pun sesungguhnya seorang alumni Pondok Pesantren di Pulau Jawa. Tetapi dia tetap mengelola Jawa Pos secara profesional dan mengakomodir semua golongan.
Sedikit menghibur, beberapa pers Islami tumbuh di situs berita online beberapa tahun terakhir. Tetapi, keberadaan mereka masih belum bisa mengimbangi dominasi pers Non Islami. Munculnya Portal Piyungan masih jauh dari layak untuk disandingkan dengan jaringan berita televisi MNC group yang notabene dimpinan Harry Tanoe Sudibyo yang juga seorang etnis dan agama minoritas. Begitu juga Arrahmah, Voaislam, Suara Islam yang juga menyasar didunia maya. Hanya segelintir orang yang mengakses berita online tersebut. Mereka pun masih harus bersaing dengan media online lain uang sudah memiliki pamor macam tempo.co, kompas.com, detikcom, okezone.com dan viva news.
Di media cetak, praktis hanya pers Islami Majalah Sabili yang mampu menembus tiras 100ribu, itupun terjadi di tahun 2001-an. Pasca bom bali tahun 2002 hingga saat ini, tiras Majalah Sabili terus menurun. Belum ada data pasti berapa tiras majalah yang konon sempat menjadi bacaan wajib bagi aktivis masjid kampus.
Dengan bahasa bombastis dan menampilkan gambar (korban kekerasan) tanpa sensor, sabili seperti memberikan semangat tinggi. Sekali lagi sayang, majalah yang antara judul dan isi kadang kurang sesuai itu pun sudah sulit ditemukan di pengecer koran. Mungkin sekarang hanya koran Republika yang bisa eksis untuk terus mengakomodir suara umat Islam. Pers Islami dalam kegiatan jurnalistiknya harus melayani kepentingan umat Islam baik materi (kepentingan politik) maupun nilai-nilainya.
Mengutip ucapan Deddy Mulyana, guru besar pasca sarjana Universitas Padjajaran, umat Islam di Indonesia sudah banyak dirasuki nilai barat dan "ikhlas" mengamalkannya. Hal ini, menurut penulis, justru memperburuk perkembangan pers Islami. Ketika pers Islami bersuara tentang penegakan dan memurnikan tauhid, justru akan kehilangan pembaca. Betapa tidak, nilai barat sudah hampir menyatu.
Ketika pers Islami bersuara tentang haramnya riba, apakah muslim yang hidup di lingkungan riba bisa menerimanya. Ketika pers Islami bersuara tentang potong tangan bagi pencuri, apakah muslim yang terperangkap prilaku korup bisa menerima. Hal tersebut justru mengancam keberlangsungan pers Islami dari segi bisnis.
Pangsa pasar pers Islami (pasca reformasi) sesungguhnya sangat meggiurkan. pondok pesantren makin banyak tumbuh, sekolah-sekolah Islam terus muncul, ormas islam bermunculan, masjid dan mushala terus dibangun, para kyai dan ustad bisa menembus lini kehidupan masyarakat sampai menjabat sebagai pejabat publik.
Peluang tersebut seperti dilewatkan. Pengelolaan Pers Islami mandek. Sumberdaya manusia berkualitas enggan bergabung dengan Pers Islami. Dari segi gaji reporter di pers islami, akan sangat timpang. Sebagai perbandingan, gaji wartawan kompas di daerah berkisar 9jt/bulan, biro Tempo di daerah diatas 8 juta hampir sama dengan koran Media Indonesia. Dengan iming-iming gaji besar, mereka bisa merekrut wartawan handal dan profesional yang tentunya akan menghasilkan berita yang disukai pembaca. Sedangkan pers islami seperti hanya diisi para partisan yang minim ongkos untuk mengejar informasi.
Imbasnya, jelas terkait mutu berita dan minat pembaca. Sekarang saja, sulit mencari koran Islami di pengecer. Di Lampung, lapak koran didominasi media-media lokal yang tidak satupun menyebut dirinya sebagai pers Islami. Kalaupun ada media cetak, mungkin sebatas pamflet yang disebarkan saat Shalat Jum'at yang isinya monoton dan seperti dicetak apa adanya. Seperti tidak ada iklan yang terserap sebagai contoh bahwa media itu dikelola secara profesional dan berbasis bisnis layaknya koran non Islami lainnya seperti Suara Pembaharuan, Kompas, Jawa Pos Grup, Indopos, Poskota dan Media Indonesia.
Ditambah lagi, pesatnya perkembangan dunia internet, memudahkan semua orang mengakses informasi. Peredaran situs berita online abal-abal luar biasa. Di sanalah lahan subur peredaran jurnalisme lahir dan sering digunakan untuk membunuh karakter. Berita yang mendeskreditkan Islam melalui Pimpinan Partai Islam yang tersandung Korupsi, mantan aktivis Islam yang dipenjara karena korupsi, anggota dewan dari partai islam yang menjadi tersangka penganiayaan, ormas islam yang dianggap bersikap anarkis, sampai terduga teroris yang diperlakukan melebihi seorang tersangka kriminal serta diberitakan secara terus-menerus dan tidak berimbang.
Itulah pendapat penulis, kenapa sosok Ahok yang minoritas begitu sangat diterima masyarakat. Kondisi saat ini, pers Islami jauh terpuruk dibawah dominasi pers Non Islami. Ahok yang Non Islam tidak akan sulit mendapat tempat di pers Non Islami dibanding tokoh lain yang Islam.
Dominasi pers Non Islami sangat kuat dan bisa ditebak, kepentingan Islam tidak akan mendapatkan tempat yang mudah di Pers Non Islami. Ahok adalah satu dari sekian banyak bukti kekalahan pers Islami dalam pertarungan dunia pers di Indonesia mengangkat tokoh.
Mungkin itu juga yang melatarbelakangi Partai Keadilan Sejahtera membangun pers sendiri melalui Portal Piyungan karena minimnya ruang bagi Umat Muslim untuk mendapatkan informasi yang seimbang. Kita juga masih ingat curhatan Habib Rizieq (Imam Besar FPI) yang mengeluh kepada Jaya Suprana jika Umat Muslim kuramg mendapatkan tempat secara adil di media massa. Pers Non Islami telah menguasai pasar pembaca di Indnesia.
Untuk saat ini, kepentingan umat muslim guna dapat dipimpin sesama muslim mungkin masih tertolong oleh Tv One. Ya, di Pilkada DKI 2017, kelompok islam bersuara supaya pemimpin daerah harus Islam. Berkepentingan sama dengan Tv One yang seperti jelas menarik garis konfrontasi dengan Ahok. Momen ini dimafaatkan tokoh-tokoh muslim seperti Yusril Ihza Mahendra dan Adyaksa Dault untuk naik panggung.
Itu hanya sesaat, sampai kapan Tv One akan terus mengakomodir kepentingan tokoh-tokoh Islam mengingat sikap yang diambil Tv one merupakan sikap politis sisa Pilpres 2014, bukan murni perjuangan ideologis. Tidak menutup kemungkinan ketika pemilik TV tersebut berkepentingan dengan Ahok, hubungan keduanya akan makin mesra dan kepentingan kelompok Islam ditinggalkan.
Ahok kerap mendapatkan tempat di media tersebut, sekali lagi, mungkin bukan semata karena dia minoritas tetapi karena konsep unik yang dimiliki untuk dijual. Ahok tampil tidak seperti pejabat biasa yang santun dan normatif. Dia tampil kasar dan keras. Ucapannya yang spontan disenangi wartawan. Belum lagi mudahnya mewawancarai Ahok yang juga jelas akan mendapatkan jawaban yang spontan. Itulah yang menarik bagi kuli tinta pemburu berita. Tidak heran, hampir setiap hari namanya menghiasi media massa yang didominasi pers Non Islami.
Ahok adalah barometer kekuatan pers Islami dan Non Islami. Kemenangan Ahok adalah kekalahan Pers Islami. Kekalahan Pers Islami adalah kekalahan tokoh Islam Indonesia. Kekalahan tokoh Islam Indonesia adalah bukti baru kekalahan beruntun pers Islami melawan pers Non Islami. Ini adalah refleksi untuk berbenah.
Kekuatan Ahok adalah kuatnya pengaruh pers Non Islami di Indonesia. Di waktu yang akan datang, tidak menutup kemungkinan akan muncul Ahok-ahok yang lain karena kunci sudah dipegang.
Terus, harus bagaimana? Kita hanya bisa berharap, kelompok Islam Indonesia yang kuat bisa sadar bahwa sebagai warga mayoritas, muslim Indonesia harus memiliki corong yang mampu benar-benar mengimbangi hegemoni pers Non Islami. Memboikot pers Non Islami hanya akan membuat muslim makin tertinggal informasi. Seperti buah simalakama dan kita harus menunggu sangat lama menunggu munculnya pers Islami yang kuat.
Terakhir, terus munculnya sentimen anti Ahok hendaknya tidak menumbuhkan semangat anti Cina. Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie, Susi Susanti adalah etnis cina yang nasionalis. Jangan pula lupakan kasih sayang warga cina lain yang telah memberikan pekerjaan bagi warga pribumi Indonesia hingga bisa terus hidup.