“Saya Benci PKS”
Saya Benci PKS : Kalau sudah tak cinta maka benci jadinya. Cinta dan benci memang bertolak belakang. Tapi, benci juga karena didasari oleh cinta. Orang-orang bilang “benci” itu benar-benar cinta. Dibalik kebencian, ada cinta didalamnya. Bentuknya, selalu perhatian dan ingin membicarakan sesuatu yang dibenci atau sesuatu yang dicintai.
Dalam kehidupan (demokrasi) kita, bentuk kebencian dan kecintaan bukan hanya diasosiasikan pada lawan jenis, tetapi pada setiap sendi kehidupan. Begitu juga dalam dunia politik, benci terhadap lawan politik, benci karena kalah, benci kepada yang menang, benci karena tak didukung, atau juga benci terhadap yang berkuasa.
PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sebagai partai yang marwah politiknya mengusung tema dakwah juga mengalami hal yang serupa. Ia dicaci dan dibenci, disisi lain banyak juga para kader fanatiknya yang cinta dan membelanya. Dahulu, sebagai partai kader, PKS banyak yang suka. Berharap adanya perubahan yang bisa dibawanya, ia pembeda, dan tak seperti partai lain yang haus akan kekuasaan. Kadernya bertebaran disemua lini profesional. PKS membuat citra dirinya sebagai partai yang berisikan orang-orang cerdas dan juga alim. Itulah citra diri PKS.
PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sebagai partai yang marwah politiknya mengusung tema dakwah juga mengalami hal yang serupa. Ia dicaci dan dibenci, disisi lain banyak juga para kader fanatiknya yang cinta dan membelanya. Dahulu, sebagai partai kader, PKS banyak yang suka. Berharap adanya perubahan yang bisa dibawanya, ia pembeda, dan tak seperti partai lain yang haus akan kekuasaan. Kadernya bertebaran disemua lini profesional. PKS membuat citra dirinya sebagai partai yang berisikan orang-orang cerdas dan juga alim. Itulah citra diri PKS.
Ustadz dan ustadzahnya banyak disukai ibu-ibu dan mahasiswa, dan juga orang-orang yang sudah jengah dengan kondisi politik praktis. Partai mana yang simpatisannya rela menyokong dana perjuangan untuk kemajuan partai dan tidak menginginkan timbal balik atau politik dagang sapi selain PKS. Di daerah perkotaan, PKS begitu populer. Pada saat legislatif telah dikuasai maka langkah selanjutnya adalah menguasai eksekutif.
Pada saat anggota legislatifnya masih sedikit, PKS begitu vokal. Kadernya kritis apabila ada kebijakan yang tidak populer. Ia simbol perlawanan sekaligus harapan. Harapan adanya partai yang membawa perubahan bagi kemajuan bangsa. Ia bergerak di dalam sistem dan tidak bergerak di luar sistem seperti Hizbut Tahrir yang mengharamkan demokrasi. Demokrasi saja haram, apalagi kalau masuk kedalam sistemnya.
Seiring berjalannya waktu, kondisi berubah. Partai yang dulu mengusung tema sebagai partai kader ini tak henti-hentinya di terpa isu. Ia dihujat, dicaci maki berkat kelakuan oknum kadernya yang justru melenceng dari nilai-nilai yang selama ini digelorakan. Terlepas benar atau tidaknya ada konspirasi didalamnya, tetapi kasus tersebut telah mengubah pandangan terhadap PKS.
Seorang kawan mengatakan benci dengan PKS. Karena tidak sesuai dengan fakta ketika mereka bicara sebelum dan setelah berkuasa. Munafik katanya menggebu-gebu. Saya pun tertegun. Seperti itukah PKS saat ini? Toh justru lebih banyak partai lain yang kelakuan kader atau anggotanya yang lebih parah, lebih buruk, tapi tidak dihujat seperti pandangannya melihat PKS.
Jangan jual ayat agama kalau hanya untuk kepentingan kekuasaan. Tetapi setelah berkuasa justru tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Itulah fenomena yang terjadi, saya sendiri tidak bisa menyalahkan dan juga tidak bisa membenarkan kebencian itu.
Kita harus objektif dalam menilai. Itu pandangan saya. Saya coba untuk se-objektif mungkin menilai kondisi PKS saat ini. Objektif dan kritis, mungkin begitu. Tapi memang setelah dilihat dan ini menurut pengamatan saya, bahwa orang yang menjadi anggota legislatif dari PKS hanya itu-itu saja. Walapun yang ikut didalam pemilu banyak kader lainnya, atau hanya dijadikan pelengkap untuk memenuhi kuota. Toh ini adalah partai kader dan harus ada regenerasi didalamnya, ada orang-orang muda yang diusung dan maju. Tidak orang itu terus menerus yang dimajukan. Lalu, apa bedanya dengan partai lain yang kaderisasinya tidak sebaik PKS.
Saya memandang bahwa harus ada perubahan tidak hanya pada tubuh partai, tapi juga orang-orang yang duduk di legislatif, harus dibatasi. Perlu adanya regenerasi agar yang masih fresh dan idealis ini tidak termakan usia dan hanya menunggu walaupun katanya tidak haus akan kekuasaan. Justru yang selalu menjadi anggota legislatif terus menerus itu yang haus akan kekuasaan karena tidak adanya regenerasi didalamnya.
Tapi, saya apresiasi dengan Ustadz Abdul Hakim, yang memiliki tingkat ketika mengabdi di legislatif. Dari anggota DPRD Kota Bandar Lampung, kemudian menjadi anggota DPRD Provinsi Lampung kemudian menjadi Anggota DPR-RI. Walaupun beliau beberapa kali gagal ketika dicalonkan untuk menjadi Walikota untuk dua kota yang berbeda. Itulah yang namanya kaderisasi. 2 tahun di kota/kabupaten, 2 tahun di provinsi dan 2 tahun di senayan. Cukup, gantian atau regenerasi dengan kader yang lebih muda.
Walaupun yang didengungkan adalah tidak haus akan kekuasaan dan ketika terpilih adalah amanah yang harus diucapkan seperti mendapatkan musibah. Musibah yang menimpa ketika mendapatkan tugas negara. Justru itu titik tekannya. Karena amanah itulah maka setelah terpilih dan berkuasa kemudian terpelintir makanya orang yang tadinya berempati dan bersimpati, sekarang berubah menjadi benci.
Bagi saya, PKS secara organisasi harus mawas diri dan menerima kritik, karena tidak sepenuhnya kita selalu benar. Ada salahnya, ketika saya menuliskan artikel ini, mungkin saja banyak salahnya. Tidak sepenuhnya opini saya ini objektif, walaupun saya telah berusaha objektif. Subjektifitas saya dalam menilai tetap juga tidak bisa diabaikan.
Kondisi ini seperti mengamini apa yang dikatakan oleh Nurcholis Majid “Islam Yes, Partai Islam No”. Jangan lihat Nurcholis Majidnya yang katanya sekuler, liberal dan lainnya. Tapi harus dilihat, konteks pembicaraannya.