Breaking News

Ketika Menjadi Sarjana

Ketika Menjadi Sarjana : Apa yang ada dibenak masyarakat ketika mendengar kata “sarjana”. Mungkin yang ada dibenak masyarakat adalah bahwa sarjana itu ialah seseorang yang serba bisa, ahli dalam bidangnya dan dapat dijadikan tempat untuk bertanya, tempat untuk memecahkan perosalan-persoalan yang ada. Pokoknya semua hal yang memiliki predikat baik itu melekat pada seorang sarjana.

Ketika Menjadi Sarjana
Sarjana adalah output dari dunia pendidikan tinggi. Dimana sebelum dinobatkan menjadi sarjana mereka dididik terlebih dahulu didunia kemahasiswaan. Dunia kemahasiswaan menjadi fenomena yang menarik dan lebih bervariatif dibandingkan dengan kisah-kisah di SMU. Segala macam pergolakan seperti pencarian jati diri, pencarian calon suami/istri, pencarian arah hidup dan status sosial.

Sebagian besar menjadi baik atau buruknya seorang sarjana merupakan cerminan ketika ia menjadi mahasiswa, tetapi ada juga yang justru berbanding terbalik kisah hidupnya. Justru yang pintar dan berprestasi pada saat menjadi mahasiswa, ketika menjadi sarjana bernasib pas-pasan sedangkan yang dulunya awut-awutan menjadi mahasiswa malah sekarang menduduki posisi penting di perusahaan atau pegawai yang menonjol di negeri/swasta. Namun itu tidak dapat dijadikan indikator umum.

Tetapi kebanyakan yang menduduki posisi strategis adalah mereka yang cerdas dalam bergaul, memiliki banyak relasi dan memiliki kemampuan akademis yang memadai. Para sarjana dengan kualifikasi tesebut bertebaran di ranah pers, politik, perguruan tinggi, dan pejabat tinggi negara.

Pertanyaannya adalah bagaimana untuk menjadi seseorang yang sukses tersebut? Padahal proses pada saat pembelajaran di dunia kampus mungkin saja sama, tetapi kenapa banyak kebingungan yang terjadi di lapangan. Bingung ketika menjadi sarjana. Ada ungkapan yang sangat menyedihkan bahwa ketika seseorang lulus dari perguruan tinggi, yakni ucapan selamat yang diucapkan adalah “Selamat, anda menjadi pendatang baru dalam dunia pengangguran” atau “Selamat anda menjadi pengangguran”.

Sarjana nganggur atau sarjana tidur sebenarnya telah menjadikan inspirasi bagi Marwah Daud Ibrahim ketika beliau menulis buku “Menggapai Hidup dan Mengelola Masa Depan” atau yang terkenal dengan konsep MHMMD. Marwah menggambarkan bagaimana dalam mengelola hidup sehingga tidak adanya lahan tidur dan sarjana tidur.

Ketakutan para sarjana baru atau baru jadi sarjana memang memiliki banyak alasan. Banyaknya berita buruk yang diberitakan dimedia tentang kebangkrutan, PHK, meningkatnya jumlah tenaga kerja memberikan persepsi tentang banyaknya sarjana yang tidak bisa diserap lapangan kerja. Alhasil menjustifikasi para sarjana baru menjadi pengangguran baru adalah justifikasi yang mendasar.

Didasari oleh perihal tersebut maka banyak sarjana yang pada akhirnya bingung dan mempertanyakan: saya akan kemana, tolong berikan saya pekerjaan apa saja, carikan saya info lowongan kerja dan kalau bisa pekerjaannya yang memadai bagi sarjana. Fenomena ini menjadi fenomena umum di masyarakat kita.

Ketika para sarjana yang berasal dari desa/kampung pulang kekampungnya masing-masing. Dan tidak bekerja yang layak menurut penduduk desa/kampung dengan statusnya sebagai seorang sarjana maka memberikan pelajaran bagi penduduk lainnya. Sehingga menegaskan kenapa harus sekolah tinggi-tinggi kalau pekerjaannya sama seperti yang tidak sekolah. Atau buat apa ijasah tinggi kalau tidak bisa digunakan untuk mendapatkan posisi yang tinggi.

Maka pola pikir menjadi alasan pembenaran atau memang sebuah kebenaran. Ketika sarjana ditanya tentang pekerjaannya yang tidak layak maka jawaban yang tepat adalah karena kuliah atau sekolah tinggi bukanlah untuk mencari kerja tetapi untuk memberikan pola pikir yang lebih luas, paradigma yang lebih mumpuni dari masyarakat biasa, dan menjadi indikator pemikiran bagi para pemuda lainnya.

Sehingga ada pemikiran yang konstruktif untuk memotivasi para sarjana yang mencari kerja yakni jangan mencari kerja tetapi ciptakan lapangan kerja. Ungkapan tersebut adalah motivasi yang luar biasa namun sangat sulit untuk di implementasikan. Karena mindset sebagian para sarjana baru dan masyarakat tentang kesuksesan adalah dengan menjadi pejabat bukan menjadi pengusaha apalagi pengusaha kecil-kecilan. Padahal pemerintah sendiri dari dulu telah mendorong untuk berkembangnya UMKM yang merupakan sektor swasta. Dengan mendorong berkembangnya UMKM sebenarnya pemerintah telah memberikan rekayasa untuk memberikan stimulan kewirausahaan kepada masyarakat. Artinya pemerintah mendorong masyarakatnya untuk menjadi pengusaha atau minimal menjadi Bisnis Owner.

Menjadi Bisnis Owner dan Investor adalah Cash Flow Quadrannya Robert T. Kiyosaki yang berada diatas Employee dan Self Employee, karena Bisnis Owner dan Investor menekankan uang sebagai mesin untuk terus bekerja bagi kita bukan kita yang bekerja dan diperbudak oleh uang.

Disamping itu program-program pemerintah seperti Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, dimana didalamnya terdapat dana bergulir yang dapat digunakan untuk mengembangkan usaha dengan pinjaman berkelompok juga diarahkan untuk pengembangan usaha kecil. Konsep ini menerapkan konsep kewirausahaan yang jika diberdayakan secara seksama dapat untuk mengentaskan kemiskinan dan memberikan paradigma kewirausahaan bagi masyarakat. Selain itu juga, pemerintah telah lama menggulirkan dana KUR untuk masyarakat. Tinggal bagaimana kita pro aktif untuk mengambil peluang yang ada.

Mungkin banyak yang bilang bahwa menjadi pengusaha itu adalah mereka yang belajar bisnis di Fakultas Ekonomi. Sedangkan bagaimana yang kuliah atau sarjana jebolan FISIP, Hukum, FKIP, MIPA, Pertanian dan Komputer. Justru saat ini banyak yang lebih menjadi wirausahawan dari kalangan luar sarjana ekonomi. Karena keterdesakan lowongan kerja yang sempit memacu mereka untuk kreatif dalam mengembangkan usahanya pada bidang masing-masing.

Anak-anak ekonomi justru banyak bertebaran menjadi karyawan biasa di perusahaan yang membutuhkan skill teknis, dan pada sektor perbankan justru banyak yang diterima bukan dari ekonomi tetapi dari Pertanian dan FMIPA. Hal ini disebabkan oleh sistem rekrutmennya yang menekankan pada basis eksakta dibandingakan sosial.

Pada kondisi yang serba sulit seperti ini tidak mungkin untuk berpangku tangan dan mengharapkan untuk dapat bekerja pada posisi yang strategis secara langsung. Sebab di lampung saja belasan ribu sarjana atau duapuluh ribuan sarjana yang lulus dari perguruan tinggi dan swasta setiap tahun. Sedangkan kemampuan penyerapan tenaga kerja sangat kecil. Untuk menyediakan satu lapangan kerja saja dibutuhkan modal yang sangat besar yakni berkisar 80 sampai 90 juta per tenaga kerja. Atau dengan kata lain bahwa penyerapan tenaga kerja tersebut cenderung padat modal.

Sekarang, pilihan itu ada pada para sarjana-sarjana yang baru diwisuda dan akan diwisuda untuk kearah mana. Menjadi pekerja, menjadi pengusaha atau menjadi sarjana nganggur alias sarjana tidur. Pilihan itu ada didepan mata dan tidak dapat ditolak kedatangannya. Wallahualam.