Breaking News

Kemiskinan dan Radikalisme

Kemiskinan dan Radikalisme : Teringat tempo hari saya membuat status BBM “kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh lemahnya sumber daya, tapi juga oleh sistem dan kepemimpinan (kebijakan dan keputusan) yang tidak tepat”. Kira-kira begitu. Bukan tanpa alasan, sistem yang dijalankan organisasi di lingkungan masyarakat, tempat kerja (perusahaan) dan kepemimpinan memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia.
Kemiskinan dan Radikalisme

Daya saing dan motivasi kerja selain dikarenakan keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan juga mesti didukung oleh sistem dan kepemimpinan yang mendukung kearah yang lebih baik. Merunut Teori Maslow tentang  motivasi bahwa kebutuhan dasar manusia tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan dasar manusia. Bagaimana manusia memenuhi kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan terlebih dahulu baru kemudian meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi.

Tahapan tentang kebutuhan dibagi oleh Maslow pada lima tahap yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Tetapi, dapat kita lihat banyak yang menerobos kebutuhan akan rasa aman ketika ia berhadapan dengan kebutuhan dasar. Tidak peduli lagi dengan rasa aman, sosial apalagi penghargaan dan aktualiasi diri demi memenuhi kebutuhan hidup.

Lalu bagaimana dengan yang diucapkan oleh Fachry Ali pada kolom Opini Kompas, 28 Januari 2016 “Fakta bahwa 10 persen penduduk mengontorl 77 persen kekayaan Indonesia dan 1 persen penduduk mengontrol 50 persen kekayaan nasional (The Jakarta Post, 11 Desember 2015) adalah ketimpangan pendapatan paling akut pasca reformasi”.

Semua ini, lanjut Fachry Ali berpotensi menciptakan alienasi dan hilangnya harapan rakyat jelata akan perbaikan ekonomi kini dan mendatang. Seperti telah dinyatakan di atas, alienasi dan kehampaan inilah yang mengawetkan the millennial beliefs yang mendorong aksi-aksi radikal dan kekerasan atas nama agama. Dalam posisi peran konglomerat swasta belum bisa diharapkan dengan segera, aksi “aliansi ekonomi“ antara BUMN dan rakyat ini secara tidak langsung bisa menjadi sarana deradikalisasi paham-paham keagamaan yang berlangsung dewasa ini.

Lalu bagaimana dengan lagunya H. Rhoma Irama “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Sepertinya lagu itu masih berlaku apalagi di era liberalisasi ekonomi kita saat ini. Ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin memberikan jarak satu dengan yang lain.

Tapi, seperti yang saya katakan diawal bahwa kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh lemahnya sumber daya (dalam hal ini adalah sumber daya manusia) tapi juga oleh sistem dan kepemimpinan. Harapan kita pada sistem dan kepemimpinan yang berjalan saat ini dapat memberikan stimulan dan terobosan yang lebih baik ditengah lesunya dan melambatnya ekonomi global dan nasional.

Tentu kita berharap bahwa kondisi global dan nasional segera membaik dan tidak terjadi peperangan yang berkelanjutan sehingga memberikan ruang kedamaian bagi seluruh bangsa. Imperealisme global saat ini memiliki bentuk dan gayanya sendiri, penguasan terhadap bangsa lain adalah bentuk penghianatan sebagai manusia yang merdeka.

Menguasai bangsa lain dengan menguasai perekonomian suatu negara, mengeruk kekayaan alam bangsa lain dan meninggalkan konflik yang mendalam pada akar rumput. Konflik pada akar rumput seperti dibina dan diarahkan demi memenuhi kepentingan korporasi yang lebih besar.

Karena kemiskinan bisa memicu pada tindakan radikal dan menciptakan ketidak amanan sosial. Dari situlah gerakan kemerdekaan dimulai secara radikal. Ketika sistem dan kepemimpinan sudah tidak berpihak lagi kepada rakyat, maka tak ada langkah lagi selain melawan.