Politik Kebangsaan-Nasionalis Religius
Politik Kebangsaan-Nasionalis Religius : POLITIK kebangsaan yang mengetengahkan sebuah konsep terhadap pemecahan masalah kebangsaan dan menuju masyarakat madani memiliki akar yang kuat di Indonesia. Masalah kebangsaan selalu menjadi isu santer setiap kali terjadi pergolakan politik dalam negeri. Isu nasionalisasi, pribumisasi dan beragam tetek-bengek lainnya mengiringi setiap langkah politik kebangsaan.
Nasionalis religius sebagai sebuah konsep pemikiran yang diketengahkan ke hati masyarakat semakin ampuh untuk menjaring masa. Phobia terhadap sesuatu yang disebut sekuler menjadikan para pemikir politik untuk mencari platform lainnya sehingga menghindari proses sekulerisasi yang mungkin akan meningkatkan gejolak penolakan masyarakat. Namun, di bagian lainnya disebut fanatik dalam menggerakkan Politik Islam pun tak berani. Tak ingin disebut fundamentalis, fanatis dan garis keras sehingga ketakutan yang ditimbulkan melahirkan konsep negara agama.
Maka alternatif politik kebangsaan dan nasionalis religius menjadi pilihan politik yang harus diambil. Banyaknya partai politik yang tidak berani menunjukkan identitas keislaman yang murni menunjukkan betapa tidak beraninya para Tokoh Politik Islam menunjukkan identitas dirinya di balik politik religius. Nasionalisme pun kini menjadi dagangan politik yang laris manis.
Isu partai fanatik yang konon dipuji oleh banyak kalangan kini pun membanting setir ke arah yang sama. Di samping itu pula, partai fanatik keagamaan tidak mampu memainkan peran pentingnya di eksekutif maupun legislatif. Perebutan kekuasaan dan dualisme kepemimpinan menjadi isu hangat media sehingga menjadi tontonan cemoohan kalangan di luar partai. Anehnya, peran politik mereka sangat terasa ketika jumlah kursi di parlemen masih kecil. Berkembangnya suara di parlemen justru berbanding terbalik ketika jumlah mereka banyak.
Pluralisme yang konon ada yang menolak dan tidak, kini secara pelan-pelan mulai terbuka. Bagi yang menolak pluralisme, secara perlahan mereka membuka kran untuk menerima pluralisme. Peran politik yang dulu fanatik dan santun, tetapi menolak pluralisme dengan mengatasnamakan dakwah dalam politik, kini musnah. Pluralisme dibuka lebar-lebar dan dakwah pun terhenti. Itu semua demi menambah suara dalam pemilu. Membuka frame yang ada saat ini bagi masyarakat luas bahwa partai dakwah bukan seperti itu adanya, partai dakwah juga butuh sumbangan suara. Butuh pemilih di luar pemilih fanatik partai. Ini menunjukkan bahwa masa mengambang menjadi incaran atau kue rebutan para partai politik dari aliran manapun.
Pada dimensi lain, bangsa ini dapat disebut sebagai bangsa aneh dan takut kepada simbol dan ciri khas. Jika ada yang menunjukkan ciri yang berbeda dengan lainnya maka akan dijauhi, dihujat, ditendang dan dibungkam. Misalnya, jika ada partai yang kekiri-kirian maka gejolak penolakan akan segera muncul dan membabi-buta. Begitu juga dengan Partai-partai Islam, para tokoh terlalu takut untuk dibilang alim atau juga takut dikatakan partai sok alim. Sehingga jalan tengah diambil dengan mencampur adukan yang ada.
Tempo dulu, banyak yang tidak setuju dengan Nasakomnya Soekarno, dengan mengatakan itu adalah sebuah penyimpangan dan strategi politik untuk melanggengkan kekuasaan Soekarno. Sebetulnya, tak ada bedanya dengan Partai-partai Islam yang beralih haluan yang juga untuk melanggengkan kekuasaannya.
Lahirnya politik Kebangsaan-Nasionalis Religius di tengah masyarakat, baru diyakini sekarang setelah sekian lama mandul. Sebetulnya apa yang telah dilakukan Alm Nurcholis Majid adalah representasi dari hal tersebut. Dengan pernyataan Islam Yes, Partai Islam No, beliau mencoba untuk melakukan rekonstruksi politik
Kebangsaan-Nasionalis Religius yang terkatung-katung oleh nasionalisme yang buta dan sempit atau dengan fanatisme keagamaan yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Nasionalis religius yang menitik beratkan pada pluralisme, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, nasionalisme yang kuat, tetapi tidak melupakan nilai-nilai kealiman seorang politikus sejati. Fokus seperti ini yang dilakukan oleh SBY dalam mengembangkan politik kebangsaannya. Sehingga mereka berupaya untuk menarik hati rakyat.
Bangsa Indonesia tidak mau disebut sebagai Negara Sekuler, tidak juga mau juga disebut sebagai Negara Agama. Beragam ketakutan untuk disebut sebagai salah satu dari kedua hal tersebut yang menyebabkan politik Kebangsaan-Nasionalis Religius berkembang baik di Indonesia. Soekarno pun melakukan hal yang sama dengan menambahkan “komunis” dalam kamus politiknya. Yang justru menjadi Boomerang bagi dirinya sendiri.
Belajar dari Soekarno tersebut, para politikus ini mengambil nilai-nilai nasionalisme dan agama serta meninggalkan komunis dalam platform politiknya. Sebagai orang yang beragama dan memiliki nilai nasionalis yang tinggi mereka turut berpartisipasi dalam menentukan tujuan kebangsaan.
Sebagai negara yang dihuni oleh orang-orang yang beragama dengan ikrar Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia, Nasionalis Religius adalah konsep politik yang patut diperhitungkan. Dengan harapan, nilai-nilai keagamaan akan mengikis habis tindakan-tindakan amoral. Nilai-nilai agama ketika bicara masalah ahlak tidak mengalami perbedaan yang signifikan kalaupun tak ingin dikatakan sama. Oleh sebab itu, Nasionalis Religius memungkinkan untuk dapat diterima oleh banyak kalangan.
Dengan hadirnya Nasionalis Religius tentu mengenyampingkan konsep Imamah dan Khilafah apalagi sekuler. Walaupun di negara sekuler sekalipun, nilai-nilai keberagamaan tetap dijunjung tinggi dan petinggi-petingginya diisi oleh orang-orang saleh. Nasionalis religius tidak bertentangan dengan demokrasi, tetapi ia berjalan beriringan dengan demokrasi.
Melalui politik kebangsaan tersebut mencerminkan kemajuan berpikir bangsa ini yang masih tetap mencari jati dirinya. Mengembangkan peran politik kebangsaan untuk turut berkiprah dalam percaturan politik global yang memiliki perbedaan di setiap langkah-langkah politiknya. Apalagi dari segi idiologi.
Idiologi politik yang pada masa orde baru semakin tidak jelas dengan desakan asas tunggalnya, saat ini terus berkembang. Dengan didukung oleh Tekhnologi Informasi yang semakin canggih komunukasi politik dalam menyebarkan idiologi politik semakin mudah. Rakyat pun dapat dengan mudah untuk mengakses kemudian menilai mana idiologi yang sesuai dengan dirinya.
Oleh sebab itu, partisapsi politik Kebangsaan-Nasionalis Religius dapat dengan mudah untuk diterima masyarakat secara luas. Apalagi dengan disokong oleh para intelektual-intelektual muda serta dana yang memadai, nasionalis religius tetap menganga menunjukkan taringnya. Menyingkirkan mereka yang kekiri-kirian maupun fanatisme keagamaan.
Dari yang kiri dan kanan kini menuju ketengah, menawarkan konsep baru dan tidak mau ketinggalan zaman. Kehilangan mata pilih berarti sama saja dengan menghancurkan harapan-harapannya tentang kekuasaan dan masa depan. Pada masa transisi ini, Nasionalis Religius memainkan peran penting dan dominan serta menjadi leading dalam menentukan arah politik kebangsaan. Ia alternatif, tapi justru menjadi besar.