Breaking News

ACFTA Dan Peningkatan Daya Saing

ACFTA Dan Peningkatan Daya Saing : Setelah diberlakukannya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Aggrement) pada tanggal 1 januari 2010, Indonesia memasuki babak baru, babak kompetisi perdagangan yang semakin bebas. Kelimpahan barang-barang produksi asal China akan banyak ditemukan di pasaran. Sebagai masyarakat yang konsumtif, Indonesia memiliki Pekerjaan Rumah yang besar.
ACFTA Dan Peningkatan Daya Saing

ACFTA sudah terlanjur disepakati, mau tidak mau seluruh elemen bangsa ini semakin diberikan tantangan untuk menghadapinya. Mengingat sektor industri kita yang masih lemah jika dibenturkan dengan perdagangan bebas antar kawasan China dan ASEAN maka akan semakin melemahkan sektor-sektor industri kecil. Isu ini memang terlewatkan begitu saja mengingat hampir setiap waktu kita disodorkan dengan isu-isu politik dan isu pemberantasan korupsi (Century Gate) yang tak kunjung selesai.



ACFTA berlaku bagi China dan enam negara ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam. Sementara untuk Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam akan berlaku 2015 mendatang. Dengan diberlakukannya FTA tersebut banyak penilian yang bermunculan yakni hadirnya ancaman-ancaman yang akan menghantam sektor-sektor usaha kecil dan menengah. Bahkan timbul penilaian bahwa ancaman bukan hanya terjadi pada sektor usaha kecil dan menengah saja tetapi pada semua sektor usaha.

Diperkirakan akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar 7,5 juta pekerja. Oleh sebab itu sedikitnya delapan sektor industri Indonesia meminta penundaan ACFTA. Kedelapan sektor tersebut adalah sektor industri besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, sektor kimia non organik, sektor elektronik, sektor furniture, sektor alas kaki, sektor petro kimia, serta sektor makanan dan minuman. .

Bob Widyahartono mengungkapkan bahwa saat gagasan ACFTA muncul yang disepakati bersama China dengan ASEAN untuk diawali implementasinya tahun 2010. pada saat itu akan terjadi integrasi perekonomian yang meliputi sebanyak 1,8 miliar konsumen (1,29 miliar dari China dan 550 juta dari ASEAN) dan belum lagi kalau disertakan Jepang (berpenduduk 127 juta) dan Korea Selatan (berpenduduk 48 juta). Hal ini tercatat dalam “2004 Economic Outlook for East Asia”, Institute of Developing Economies/JETRO, Japan.

Dan yang lebih mengehebohkan lagi adalah perjanjian kedepan yakni FTA dengan Australia dan New Zealand yang tinggal menunggu ratifikasi dan pemberlakuan ASEAN Economic Community (AEC) di 2015. artinya kawasan ASEAN-China-Australia merupakan kawasan perdagangan bebas bagi Indonesia. Dilihat dari segi geografisnya, Indonesia berada di tengah-tengah kawasan tersebut. Apakah ini kondisi yang menguntungkan atau merugikan? Tergantung dari segi yang mana kita memandangnya.

Presiden SBY sebagaimana yang diberitakan oleh Koran SI mengungkapkan bahwa Indonesia akan berhadapan dengan sembilan negara lainnya jika tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian tersebut. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada negara tidak akan tinggal diam dalam menghadapinya. Dengan perjanjian tersebut tidak hanya Indonesia yang kebanjiran produk-produk china tetapi Indonesia pun banyak mengekspor barang ke China yang telah melampaui US $30 miliar pada tahun 2008. Yang juga diimbangi dengan penurunan ekspor ke Jepang dan Amerika.
Beragamnya pendapat tersebut tentu semakin menguatkan bahwa perlunya penguatan industri di dalam negeri. Kemudahan dalam berusaha setidaknya menjadi acuan penting bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Hal yang perlu diperhatikan adalah laporan yang diberikan oleh Bank Dunia yang memberikan peringkat 122 kepada Indonesia dalam kemudahan berusaha di Kawasan Asia Timur dan Pasifik. Bank Dunia memberikan peringkat kemudahan berusaha terhadap 183 perekonomian berdasarkan 10 indikator peraturan usaha yang mengukur waktu dan biaya yang dibutuhkan perusahaan persero antara Juni 2008 – Mei 2009. Tercatat ada 287 reformasi regulasi kemudahan di 131 negara.

Singapura tercatat sebagai negara yang konsisten melakukan perbaikan peraturan, dan menduduki peringkat teratas dalam kemudahan berusaha selama empat tahun berturut-turut. Indonesia tercatat sebagai negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang paling efektif mereformasi peraturan usaha untuk periode 2008/2009. Catatan Bank Dunia tentang kenaikan peringkat Indonesia disebabkan oleh perbaikan dalam bidang diantaranya mengurangi waktu untuk memulai kegiatan usaha sebanyak 16 hari,yakni dari 76 hari dengan 11 prosedur menjadi hanya 60 hari dengan 9 prosedur, biaya 26% dari pendapatan perkapita, serta modal minimal 59% dari pendapatan perkapita.

Dalam Laporan yang berjudul Doing Business 2010: Reforming Through Difficult Times, peringkat Indonesia sedikit di bawah Rusia dan China. Namun diatas India dan Brazil dalam kelompok BRIC atau negara-negara berkembang besar. Posisi Indonesia dengan peringkat 122 hasil survey IFC tersebut ternyata belum mampu mengalahkan negara-negara tentangga seperti Singapura (1), Malaysia (23), Vietnam (93), dan Thailand (12).

IFC memerinci Kendala dalam melakukan bisnis di Indonesia: Pertama, Praktik ekonomi biaya tinggi. Kedua, Birokrasi yang berbelit-belit. Ketiga,Waktu penyelesaian sengketa yang lama. Keempat, Kebijakan yang tumpang tindih. Kelima, Perda-perda yang menimbulkan biaya tinggi.

Kelima hal tersebut merupakan hambatan yang harus segera diselesaikan jika tidak ingin dunia usaha di dalam negeri semakin terkoyak-koyak oleh pelaku kebijakan yang hanya mementingkan dirinya sendiri beserta kelompok. Sudah saatnya kepentingan bersama lebih di kedepankan. Praktik ekonomi biaya tinggi dan birokrasi yang berbelit-belit adalah persoalan klasik yang selalu tak terselesaikan.

Belum lagi ditambah dengan peraturan-peraturan yang semakin tumpang tindih, hilangnya fungsi dan peran antara pemerintah daerah dan pusat semakin membingungkan pemerintah sendiri yang pada akhirnya berimbas pula pada bidang-bidang yang lain. Penguatan terhadap daya saing dalam negeri dalam menghadapi ACFTA tidak bisa diselesaikan dengan retorika belaka. Tetapi butuh implementasi riil di lapangan, di tengah-tengah masyarakat yang memang harus bersaing dengan bangsa lain dan bangsanya sendiri.

Dengan diperkirakan akan timbul PHK secara besar-besaran tersebut tentu timbul pertanyaan akan dikemanakan mereka ini, sedangkan pengangguran yang masih ada saja belum terserap oleh lapangan kerja. Artinya butuh dorongan bagi setiap warga negara untuk lebih mandiri dengan penguatan kepada jiwa entrepreneur. Jiwa-jiwa ksatria yang sanggup bersaing dengan kekuatan-kekuatan dan peluang yang dimiliki. Tetapi industri-industri kecil saja diperkirakan akan tergilas, lalu kemana penyerapan tenaga kerja?

Mudah-mudahan apa yang dijanjikan oleh SBY dan Sri Mulyani dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia nantinya. Sri mengungkapkan bahwa untuk penguatan kepada industri manufaktur dan mengurangi biaya tinggi dalam menghadapi ACFTA ini maka diperlukan tidak hanya dari sisi kebijakan fiskal tetapi juga reformasi birokrasi dan akselerasi pembangunan infrastruktur, terutama listrik dan jalan raya yang memengaruhi struktur biaya industri manufaktur.

Saya percaya kepada pemerintah bahwa mereka mempunyai segudang solusi untuk menghadapi perosalan ini. Tetapi alangkah baiknya jika dalam menghadapi persoalan ini kita sebagai rakyat biasa tidak hanya tinggal diam dan berpangku tangan dengan mengharapkan kepada pemerintah yang berlebihan. Untuk itu alangkah mulianya jika setiap masyarakat indonesia meningkatkan komptensi dirinya dalam menghadapi percaturan global ini. Semoga.